BISNIS ONLINE

Jumat, 25 November 2011

Amtsalil Qur'an

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Amtsalil Qur’an
Menurut bahasa (etimologi) kata amtsal berupa bentuk jamak dari lafal matsal. Sedangkan kata matsal, mitsil, dan matsil adalah sama dengan kata syabah, syibih, dan syabih, baik dalam lafal maupun dalam maknanya.
Menurut bahasa, arti lafal amtsal ada tiga macam :
a)      Bisa berarti perumpamaan, gambaran, atau perserupaan, atau dalam bahasa arabnya :


b)      Bisa diartikan kisah atau cerita, jika keadaannya amat asing dan aneh.


c)      Bisa juga berarti sifat, atau keadaan atau tingkah laku yang mengherankan pula.

Imam Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyaf juga memberikan arti kata matsal dengan arti perumpamaan, sifat, dan kisah, tetapi para ulama ahli Ilmu Bayan menambahkan dengan majazi murakkab.
Menurut istilah (terminology), para ulama memberikan beberapa macam definisi Amtsalil Qur’an, antara lain sebagai berikut :
a.       Ulama ahli ilmu adab mendefinisikan al-amtsal, sebagai berikut :



Artinya : “Amtsal (perumpamaan) dalam ilmu adab ialah ucapan yang banyak disebutkan yang telah biasa dikatakan orang yang dimaksudkan untuk menyamakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang akan dituju.

Maksudnya, amtsal itu ialah menyamakan hal yang akan diceritakan dengan asal ceritanya (asal mulanya). Contohnya seperti                                   (banyak penahan yang tidak ada pemanahnya). Maksudnya, banyak musibah yang terjadi dari orang yang salah langkah. Orang pertama yang menceritakan ungkapan tadi ialah Al-Hakim bin Yaghust An-Naqary, yang menggambarkan bahwa orang yang salah itu kadang-kadang menderita musibah. Karena itu dengan asal ungkapan ini sebagai asal ceritanya, yakni bahwa banyak kejadian / musibah yang terjadi tanpa sengaja.
b.      Istilah ulama ahli ilmu bayan mendefinisikan al-amtsal,  sebagai berikut :



Artinya : “perumpamaan ialah bentuk majaz murakab yang kaitannya / konteksnya ialah persamaan.
Maksudnya, amtsal ialah ungkapan majaz / kiasan yang majmuk, dimana kaitan antara yang disamakan dengan asalnya adalah karena adanya persamaan / keserupaan.
Semua bentuk amtsal ini ialah bentuk isti’arah tamtsiliyah (kiasan yang menyerupakan). Contohnya seperti ucapan yang ditujukan bagi orang yang ragu-ragu mengerjakan sesuatu perbuatan dengan kata-kata :


Artinya : “Saya lihat kamu maju mundur saja.”

c.       Para ulama yang lain memberikan definisi matsal ialah mengungkapkan suatu makna abstrak yang dapat dipersonifikasikan dengan bentuk yang elok dan indah.
Maksudnya, matsal itu ialah menyerupakan hal-hal yang abstrak disamakan dengan hal-hal yang konkret. Contohnya seperti : Ilmu itu seperti cahaya.
Dalam perumpamaan ini, ilmu yang abstrak itu disamakan dengan cahaya yang konkret, yang bisa diindra oleh mata. Perumpamaan dalam bentuk ini, tidak disyaratkan harus adanya asal cerita.
d.      Ulama ahli tafsir mendefinisikan amtsal, sebagai berikut :





Artinya : matsal ialah menampakkan pengertian yang abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik yang mengena didalam jiwa, baik dengan bentuk tasbih, ataupun majaz mursal (ungkapan bebas).
Ta’rif amtsal yang didefinisikan ulama ahli tafsir ini relevan dengan yang terdapat dalam Alquran.
Contohnya matsal dalam bentuk tasbih sharih, ialah seperti dalam ayat 24 surah Yunus :



Artinya : “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman bumi.

Dalam ayat tersebut, gambaran kehidupan manusia di dunia yang relative singkat itu diserupakan dengan waktu turunnya air hujan dari langit (yang konkret) yang juga hanya sebentar.

2.      Rukun Rukun amtsalil Qur’an dan Sejarahnya
a.      Rukun dan Syarat-Syarat Matsal.
Didalam matsal seperti halnya didalam tasbih , haruslah terkumpul empat unsur sebagai berikut :
a)      Harus ada yang diserupakan (al-musyabbah), yaitu sesuatu yang akan diceritakan.
b)      Harus ada asal cerita (al-musyabbah bih), yaitu sesuatu yang dijadikan tempat menyamakan.
c)      Harus ada segi persamaannya (wajhul musyabbah), yaitu arah persamaan antara kedua hal yang disamakan tersebut.
Jika diperhatikan beberapa Amtsalil Qur’an yang disebutkan para pengarang Ulumul Qur’an, ternyata mereka merangkum ayat-ayat Alqur’an yang mempersamakan keadaan sesuatu dengan sesuatu yang lain, baik yang berbentuk isti’arah, tasbih, ataupun yang berbentuk majaz mursal, yang tidak ada kaitannya dengan asal cerita. Jadi, ceritanya (musyabbah bih)nya, tidak selalu ada asal ceritanya (musyabbah bih)nya, tidak seperti yang terdapat pada amtsal dari para ahli bahasa, para ahli bayan, dan sebagainya.
Para ahli bahasa Arab mensyaratkan sahnya amtsal harus memenuhi empat syarat, sebagai berikut :
a)      Bentuk kalimatnya harus ringkas.
b)      Isi maknanya harus mengena dengan tepat.
c)      Perumpamaannya harus baik.
d)     Kinayahnya harus indah.
b.      Sejarah Matsal Al-Qur’an
Orang yang ahli pertama mengarang Ilmu Amtsalil Qur’an ialah Syekh Abdur Rahman Muhammad bin Husein An-Naisaburi (Wafat 406 H) dan dilanjutkan oleh Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi (Wafat 450 H). kemudian dilanjutkan Imam Syamsyudin Muhammad bin Abi Bashrin Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah (Wafat 754 H).
Imam Jalaluddin As-Suyuthi (Wafat(991 H) dalam bukunya Al=Itqan juga menyeiakan satu bab khusus yang membicarakan Ilmu Amtsalil Qur’an dengan 5 pasal di dalamnya.

3.      Macam – Macam Amtsalil Qur’an
Amtsalil Qur’an itu ada tiga macam, yaitu :
a)      Amtsalil Qur’an yang jelas (al-amtsalul musharrahatu), yaitu matsal yang di dalamnya terdapat lafal al-amtsal (lafal yang menunjukkan kepada persamaan atau perumpamaan). Matsal jenis ini banyak terdapat di dalam Al-Qur’an.

Artinya : “perumpamaan mereka (kaum munafikin) adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang lurus). Atau seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat dari langit yang disertai gelap gulita, mereka menyumbat anak telinga mereka dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hamper-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka setiap kali kilat itu menyinari mereka, maka mereka berhentilah. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Dalam ayat tersebut, Allah mengumpakan orang-orang monafik denga dua perumpamaan, yaitu diserupakan dengan api yang menyala (                                                 ) dan dengan air (                                                      ) yang di dalamnya ada unsure kehidupan. Begitu pula Alquran diturunkan, pertama untuk menyinari hati dan keduanya untuk menhidupkannya. Allah menyebutkan keadaan orang nunafik juga didalamnya dua hal, mereka diumpamakan menghidupkan api untuk menyinari dan memanfaatkannya agar dapat berjalan dengan sinar api tadi. Tetapi sayang mereka tidak bisa memanfaatkan api itu, karena Allah telah menghilangkan cahayanya, sehingga masih tinggal panasnya saja yang akan membakar badan mereka, sebagaimana mereka tidak menghiraukan seruan Alquran, dan hanya pura-pura membacanya saja.
Begitu pula dalam perumpamaan kedua, dimana mereka diserupakan dengan air hujan yang turun dari langit, disertai dengan kegelapan petir dan kilat sehingga mereka menutup telinga dan memejamkan mata karena takut mati disambar petir. Hal ini pun relevan dengan keadaan mereka yang mengabaikan Alquran dan tidak menjalankan perintah-perintah-Nya yang mestinya bisa menyelamatkan, tetapi karena tidak diindahkan maka justru membahayakan mereka.
b)      Al-amtsalul kaminah, yaitu perumpamaan terselubung, yang di dalamnya tidak terdapat lafal tamtsil tetapi artinya menunjukkan kepada arti perumpamaan yang indah dan singkat padat, sehingga mengena kalau dinukilkan kepada yang menyerupainya.
Jadi, sebenarnya Alquran sendiri tidak menjelaskan sebagai bentuk perumpamaan terhadap makna tertentu, hanya saja isi kandungannya menunjukkan salah satu bentuk perumpamaan. Tegasnya macam ini ialah merupakan matsal ( perumpamaan) maknawi yang tersembunyi, bukan amtsal yang nampak jelas.
Contoh amtsal kaminah ialah seperti bentuk-bentuk berikut :
a.       Seorang ulama mengatakan bahwa orang Arab tidak mengucapkan sesuatu perumpamaan, kecuali tentu ada persamaannya di dalam Alquran.
Ada seorang Arab berkata :
(sebaik-baik urusan adalah yang ditengah/sedang). Lalu ditanyakan, mana persamaannya di dalam Alquran? Dijawab dengan : Kamu akan mendapatkannya dalam ayat sebagai berikut :
·         Ayat 68 surah Al-Baqarah :




Artinya : “Bahwa sapi betina itu yang tida tua dan tidak muda, pertengahan antara itu.
·         Ayat 67 surah Al-Fuqan :




Artinya : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak kikir, tetapi di tengah-tengah antara yang demikian.
·         Ayat 29 surah Al-Isra :




Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya) janganlah kamu terlalu mengulurkannya agar kamu tida menjadi tercela dan menysal.
·         Ayat 110 surah Al-Isra :




Artinya : “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu, dan janganlah pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah diantara kedua itu.

b.      Kalau ada ucapan :                                              (sebagaimana kamu meminjam, maka sebegitulah kamu akan ditagih), maka akan didapatkan pula di dalam Alquran perumpamaan yang seperti tersebut di atas, dalam ayat-ayat sebagai berikut :
·         Ayat 123 surah An-Nisa :


Artinya : “Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.
·         Ayat 63 surah Al-Isra :


Artinya : “Maka sesungguhnya neraka jahannam adalah balasanmu semua sebagai suatu pembalasan yang penuh.


·         Ayat 41 surah An-Najm :
Artinya : “Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.

c.       Ungkapan :                                                                    (orang mukmin itu tidak boleh terperosok dalam satu lubang sampai dua kali), juga ada perumpamaannya dalam Alquran, yaitu dalam ayat 64 surah Yusuf :



Artinya : “Ya’qub berkata : ‘Bagaimana aku akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu. Maka Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.‘

c)      Al-amtsalul mursalah, yaitu :




Artinya : “Beberapa jumlah kalimat yang bebas tanpa lafal tasybih. Amtsalul itu ialah beberapa ayat Alquran yang berlaku sebagai perumpamaan.
Contohnya seperti dalam ayat-ayat :
·         Ayat 51 surah Yusuf :

Artinya : “Sekarang jelaslah kebenarannya itu.
·         Ayat 58 surah An-Najm :


Artinya : “Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah.
·         Ayat 41 surah Yusuf :


Artinya : “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakan kepadaku.
·         Ayat 84 surah Al-Isra :


Artinya : “Katakanlah, tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.
·         Ayat 216 surah Al-Baqarah :


Artinya : “Dan boleh jadi (pula) kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik-bagi kamu.

4.      Sighat – Sighat Amtsalil Qur’an
Dari keterangan di atas, dapatlah diketahui bahwa sighat-sighat Amtsalil Qur’an itu ada bentuknya, sebagai beikut :
a)      Sighat tasybih yang jelas (tasybih ash-sharih), yaitu sighat atau bentuk perumpamaan yang jelas, di dalamnya terungkap kata-kata matsal (perumpamaan).
Contohnya seperti ayat 24 surah Yunus :





Artinya : “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit.
Dalam ayat tersebut jelas tampak adanya lafal al-matsal yang berarti perumpamaan.
b)     Sighat tasybih yang terselubung (tasybih adh-dhimin), yaitu sighat / bentuk perumpamaan yang terselubung / tersembunyi, di dalam perumpamaan itu diketahui dari segi artinya.
Contohnya seperti dalam ayat 12 surah Al-hujurat :



Artinya : “Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya.
Dalam ayat tersebut tidak terdapat kata-kata al-matsal (perumpamaan), tetapi arti itu jelas menerangkan perumpamaan, yaitu mengumpamakan menggunjing orang lain yang disamakan dengan makan daging bangkai teman sendiri.
c)      Sighat majaz mursal, yaitu sighat dengan bentuk perumpamaan yang bebas tidak terikat dengan asal ceritanya.
Contohnya seperti dalam ayat 73 surah Al-hajj :








Artinya : “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat-lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.
d)     Sighat majaz murakkab, yaitu sighat dengan bentuk perumpamaan ganda yang segi persamaannya diambil dari dua hal yang berkaitan, di mana kaitannya adalah perserupaan yang telah biasa digunakan dalam ucapan sehari-hari yang berasal dari isti’arah tamtsiliyah.
Contohnya seperti melihat orang yang ragu-ragu akan pergi atau tidak, maka diucapkan:


Artinya : “saya lihat kamu itu maju mundur saja.
Dalam bahasa Indonesia juga ada ungkapan yang berupa majaz murakkab seperti ini : “Sedia paying sebelum hujan.” Sebab, dalam perumpamaan-perumpamaan seperti itu terdapat dua hal yang diserupakan, yaitu yang satu melangkahkan dengan kaki (maju) dan menarik kaki (mundur) dalam perumpamaan bahasa Arab. Dan bersiap siagaan dengan keadaan yang mengkhawatirkan / hujan, dalam perumpamaan bahasa Indonesia.
Dalam Alquran contohnya seperti dalam ayat :


Artinya : “Seperti keledai yang membawa buku tebal-tebal.
Disini keadaan keledai yang tidak bisa memanfaatkan buku dengan baik, padahal dia yang membawa buku yang tebal-tebal itu.
e)      Sighat isti’arah tamtsiliyah, yaitu dengan bentuk perumpamaan sampiran / lirik (perumpamaan pinjaman). Bentuk ini hampir sama dengan majaz murakkab, karena memang merupakan asalnya.

Contohnya seperti :                                                     (sebelum memanah harus dipenuhi tempat anak panahnya). Contohnya dalma Alquran seperti dalam Ayat 24 surah Yunus :



Artinya : “Seakan akan-akan belum pernah tumbuh kemarin.

5.      Faedah Amtsalil Qur’an
Adanya berbagai bentuk amtsal di dalam kitab Alquran membawa faedah banyak, antara lain sebagai berikut :
a)      Pengungkapan pengertian abstrak dengan bentuk konkret yang dapat ditangkap indera itu mendorong akal manusia dapat mengerti ajaran-ajaran Alquran. Sebab, pengertian abstrak tidak mudah diresap sanubari, kecuali setelah digambarkan dengan hal-hal yang konkret sehingga mudah dicernanya.
Contohnya seperti dalam ayat 264 surah Al-Baqarah yang menggambarkan batalnya pahala sedekah yang diserupakan dengan hilangnya debu di atas batu akibat disiram air hujan deras.








Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak akan beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang bertanah di atasnya, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak member pimpinan kepada orang-orang yang kafir.
b)      Matsalil Qur’an dapat menungkapkan kenyataan dan bisa mengkonkretkan hal yang abstrak. Contohnya seperti dalam ayat 275 surah Al-Baqarah yang mengumpamakan orang-orang makan riba yang ditipu oleh hawa nafsu, itu diserupakan dengan orang yang sempoyongan karena kesurupan setan.



Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan, lantaran (tekanan) penyakit gila.
c)      Matsalil Qur’an dapat mengumpulkan makna indah yang menarik dalam ungkapan yang singkat padat, seperti halnya dalam amtsalul kaminah, amtsalul mursalah, dan sebagainya. Contohnya seperti dalam ayat 53 surah Al-Mu’minun :

Artinya : “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).
d)     Mendorong orang giat beramal melakukan hal-hal yang dijadikan perumpamaan yang menarik dalam Alquran. Contohnya seperti dalam ayat 261 surah Al-Baqarah, yang bisa mendorong orang giat bersedekah atau member nafkah :






Artinya : “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat-gandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki.
e)      Menghindarkan orang dari perbuatan tercela yang dijadikan perumpamaan dalam Alquran, setelah dipahami kejelekan perbuatan tersebut. Contohnya ayat 12 surah Al-Hujarat, yang bisa menhindarkan orang dari menggunjing orang lain :





Artinya : “Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya.


























BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Aqiqah
Kata Aqiqah berasal dari kata Al-Aqqu yang berarti memotong (Al-Qoth’u). Al-Ashmu’l berpendapat : Aqiqah asalnya adalah rambut di kepala anak yang baru lahir. Kambing yang dipotong isebut Aqiqah karena rambut anak tersebut dipotong ketika kambing itu disembelih.
Aqiqah adalah sembelihan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dengan niat dan syarat-syarat tertentu. Dalam aqiqah ini yang disembelih adalah kambing, bukan ayan atau sapi atau unta dan lain sebagainya. Bagi bayi laki-laki aqiqahnya dua ekor kambing yang seimbang/setara dan bayi perempuan seekor kambing. Oleh sebagian ulama ia disebut dengan nasikah atau zabihah (sembelihan).

Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah sebagai berikut :
           
           

            Artinya : “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami supaya menyembelih aqiqah untuk anak laki-laki kami dua ekor dan untuk wanita seekor (HR. Al-Tirmidzi)

B.   Dalil Di Syariat’kan Aqiqah
Rasulullah telah bersaba :


anak-anak tergadai (tertahan) pada aqiqahnya, disembelih pada hari ketujuh, dasn pada hari itu pula dicukurlah ia dan diberi nama. (HR. Al-Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Madjah, dari Hasan)

            Dari Ummu Kurzin Al-Ka’biyah r.a., ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :
           
           
            “Bagi anak laki-laki dua ekor kambing yang sama, sedangkan bagi anak perempuan satu ekor kambing. (HR. al-Tirmidzi dan Ahmad)
C.   Hukum Aqiqah
Hukum aqiqah itu sendiri menurut kalangan Syai’i dan Hambali adalah sunnah muakkadah. Dasar yang dipakai oleh kalangan Syafi’i dan Hambali dengan mengatakannya sebagai sesuatu yang sunnah muakkadah adalah hadist Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi :


            “Anak tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya). HR. Al-Tirmidzi, Hasan Shahih

Pada dasarnya aqiqah disyaratkan untuk dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahiran. Jika tidak bisa, maka pada hari keempat belas. Dan jika tidak bisa pula, maka pada hari kedua puluh satu. Selain itu, pelaksanaan aqiqah menjadi beban ayah. Namun demikian, jika ternyata ketika kecil ia belum diaqiqahi, ia bisa melakukan aqiqah sndiri di saat dewasa. Suatu ketika Al-Maimuni bertanya kepada Imam Ahmad : “Ada orang yang blum diaqiqahi apakah ketika ia besar boleh meng-aqiqahi dirinya sendiri? ”, Imam Ahmad menjawab, “Menurutku, jika ia belum diaqiqahi ketika kecil, maka lebih baik melakukannya sendiri saat dewasa. Aku tidak menganggapnya makruh.” Para pengikut Imam Syafi’i juga berpendapat demikian. Menurut mereka, anak-anak yang sudah dewasa yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya, dianjurkan baginya untuk melakukan aqiqah sendiri.

D.   Hewan Untuk Aqiqah
Di dalam riwayat Imam Ahmad dan HR. Al-Tirmidzi disebutkan : Dari Ummu Kurzin Al-Ka’biyah, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang aqiqah. Beliau bersabda : “Untuk bayi laki-laki dua ekor kambing kibas dan untuk bayi perempuan seekor kambing kibas dan tidaklah merugikan kamu yang jantan atau betina.”
Hadist diatas menyatakan secara jelas bahwa kambing untuk aqiqah boleh jantan, boleh betina. Tentang berapa umur binatang tersebut, tidak ada perinciannya lebih lanjut dari Rasulullah. Hal ini berbeda dengan kambing yang disembelih untuk Idul Qurban, umurnya jelas, ciri dan keadaannyapun jelas, yaitu kambing harus berumur setahun keatas, tidak kurus, tidak pincang, tidak cacat mata, tapi harus gemuk dan sehat.
Karena itu, barang kali timbul pertanyaan, lalu bagaimana batas umur kambing untuk aqiqah ini? Bagaimana ciri dan keadaannya? Apakah syarat-syarat kambing aqiqah ini boleh kita samakan dengan kambing untuk Idul Qurban? Dalam hal ini terserah kepada kita, boleh dengan kambing sama seperti kambing untuk Idul Qurban atau kurang dari itu. Yang terpenting orang tua dapat men’aqiqahi bayinya pada hari ketujuh dari kelahiran bayi tersebut.
Hanya saja untuk aqiqah ini disunnahkan dimasak dahulu sebelum dibagi.

E.   Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Pelaksanaan aqiqah menurut kesepakatan para Ulama adalah hari ketujuh dari kelahiran. Hal ini berdasarkan hadist Sumarah dimana Nabi SAW bersabda :


anak-anak tergadai (tertahan) pada aqiqahnya, disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu pula dicukurlah ia dan diberi nama. (HR. Al-Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Madjah, dari Hasan)
Namun demikian, apabila terlewat dan tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, ia bisa dilaksanakan pada hari ke-14. Dan jika tidak juga, maka pada hari ke 21 atau kapan saja ia mampu.

Imam Malik berkata : Pada ddhohirnya bahwa keterikatannya pada hari ke-7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya menyembelih pada hari ke-4 (empat), ke-8 (delapan), ke-10 (sepuluh) atau setelahnya Aqiqah itu telah cukup. Karena prinsip ajaran islam adalah memudahkan bukan menyulitkan sebagaimana firman Allah AWT.


Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.( QS. Al-Baqarah : 185 )

F.    Prosesi Aqiqah
Walaupun belum lazim dilakukan walimatul ‘aqiqah bisa dilakukan sebagaimana walimatul ‘ursy dan walimatul khitan dengan mengundang saudara, tetangga, anak yatim dan dhuafa di sekitar kita. Adapun urutan prosesi aqiqah :

I.          Mencukur rambut dengan cara yang baik. Mencukur rambut adalah anjuran Nabi yang sangat baik untuk dilaksanakan ketika anah yang baru lahir pada hari ketujuh. Dalam hadist Samurah disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :


Anak-anak tergadai (tertahan) pada aqiqahnya, disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu pula dicukurlah ia dan diberi nama. (HR. Al-Turmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Madjah, dari hasan).

Ibnu Umar r.a. mengatakan bahwa :
Nabi Muhammad SAW. Melihat seorang bayi yang dicukur sebagian kepalanya dan ditinggalkan yang lainnya. Maka beliau melarang orang melakukan hal itu dan bersabda: “Cukurlah olehmu atau tinggalkan seluruhnya.” Tidak ada ketentuan apakah harus digundul atau tidak. Tetapi yang jelas pencukuran tersebut harus dilakukan dengan rata, tidak boleh hanya mencukur sebagian kepala dan sebagian yang lain dibiarkan.

II.       Menimbang rambut hasil cukuran tersebut dasn nilai timbangan diwujudkan dengan emas atau perak lalu disedekahkan kepada fakir miskin atau anak yatim.
Dalam kitab Al-Muwaththa’ Imam Malik meriwayatkan bahwa Fatimah menimbang berat rambut Hasan dan Husein lalu beliau menyedekahkan perak seberat rambut tersebut.
Ibnu Ishaq meriwayatkan hadist dari Abdullah bin Abu Bakar, dari Muhammad bin Ali bin Husain r.a, ia berkata : Rosulullah melakukan aqiqah berupa seekor kambing untuk Hasan. Beliau bersabda : “Fathimah cukurlah rambutnya”. Fathimah kemudian menimbang perak seharga satu dirham atau setengah dirham.

III.    Menamai Anak
Memberikan nama yang baik kepada anaknya.
“sesungguhnya kalian pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama-nama kalian an nama-nama Bapak kalian, maka baguskanlah namamu (HR. Muslim)”.
Tidak diragukan lagi bahwa ada kaitan antara arti sebuah nama dengan yang diberi nama. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya sejumlah nash syari yang menyatakan hal tersebut. Ibnu Al-Qoyyim berkata : “Barang siapa yang memperhatikan sunnah, ia akan mendapatkan bahwa makna-makna yang terkandung dalam nama berkaitan dengannya, sehingga seolah-olah makna-makna tersebut diambil darinya dan seolah-olah nama-nama tersebut diambil dari makna-maknanya”. Dan jika anda ingin mengetahui pengaruh nama-nama terhadap yang diberi nama (Al-Musamma) maka perhatikanlah hadits dibawah ini :
Dari Said bin Musayyib dari bapaknya dari kakeknya r.a, ia berkata : aku dating kepada Nabi SAW, beliaupun bertanya :
Siapa namamu?” Aku menjawab : “Hazin” Nabi berkata : “Namamu Sahl” Hazin berkata : “Aku tidak akan merubah nama pemberian bapakku”. Ibnu Al-Musayyib berkata : “Orang tersebut senantiasa bersikap keras terhadap kami setelahnya”. (HR. Bukhori) (At-Thiflu Wa Ahkamuhu/Ahmad Al-‘Isawiy hal.65)
Oleh karena itu, pemberian nama yang baik untuk anak-anak menjadi salah satu kewajiban orang tua. Di antara nama, nama yang layak diberikan adalah nama Nabi penghulu jaman yaitu Muhammad. Sebagaimana sabda beliau : Dari Jabir Ra dari Nabi SAW beliau bersabda :
Namailah dengan namaku dan janganlah engkau menggunakan kunyahku. (HR. Bukhori dan Muslim)”

IV.    Menyembelih kambing
Adab menyembelih hewan Aqiqah :
1.      Menghadapkan kepala hewan aqiqah kearah kiblat saat memotong hewan aqiqah.
2.      Berdo’a :


Artinya : dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, Aqiqah ini adalah karuniamu dan aku kembalikan kepada-Mu. Ya Allah aqiqah……….. (sebut nama anak yang diaqiqahi) maka terimalah.
3.      Pisau ditekan dengan kuat keleher hewan, hingga saluran pernapasan dan saluran makanan benar-benar terputus.

V.       Makan dan Doa bersama
Alangkah baiknya sebelum makan dan do’a bersama diawali dengan pengajian tentang nilai-nilai keislaman baik yang berhubungan dengan aqiqah atau materi-materi keislaman. Lalu sebelum makan bersama dimulai dengan do’a yang ditujukan kepada anak yang diaqiqahi agar menjadi anak yang shaleh/shalehah, beriman, dan bertaqwa kepada Allah SWT, berbakti kepada kedua orang tuanya dan kelak mampu mendarma baktikan dirinya untuk ‘izzul Islam wal muslimin.



G.  Penyaluran Aqiqah
Mereka yang paling layak menerima sedekah adalah orang fakir dan miskin dari kalangan umat islam, begitu juga dengan aqiqah, mereka yang paling layak menerima adalah orang miskin dikalangan umat islam. Walau bagaimanapun berdasarkan beberapa buah hadist dan amalan Rasulullah dan sahabat kita disunnahkan juga memakan sebagian daripada daging tersebut, bersedekah sebagian dan menghadiahkan sebagian lagi. Apa yang membedakan aqiqah dan qurban ialah kita disunnahkan memberikan sebagian kaki kambing aqiqah tersebut kepada bidan yang menyambut kelahiran tersebut. Daging selain disedekahkan juga bisa dimakan oleh keluarga yang melakukan aqiqah. Hal ini berdasarkan hadist Aisyah ra. :
sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya. Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh. (HR. Al-Bayhaqi)”

H.  Hikmah Aqiqah
1.      Wujud rasa syukur seorang hamba kepada Allah SWT.
2.      Mewujudkan rasa saling berbagi dengan orang-orang yang kurang mampu (dhuafa).
3.      Mempererat ukhuwah sesame kaum muslim.

I.      Aqiqah Dan Kepedulian
Pada aspek social, ibadah aqiqah dapat menjalin ukhuwah pada sesame tatkala kambing yang disembelih lalu dimasak. Masakan aqiqah tersebut tidak diantar ke shohibul aqiqah tetapi dibagikan kepada masyarakat yang tidak punya (dhuafa) baik dari kalangan yatim piatu atau dhuafa pada umumnya, terlebih jika dalam pengadaannyapun melibatkan para peternak kecil yang siap menyediakan hewan aqiqah, belum lagi apabila hasil dari pengelolaan aqiqah dikembalikan kepada orang-orang tak berpunya (dhuafa) dalam bentuk yang lain.

0 komentar:

Posting Komentar

PALING DISUKAI