BISNIS ONLINE

Senin, 13 Februari 2012

7 IMAM QUR'AH SAB'AH

7 imam Qur’ah Sab’ah

Menurut bahasa, Qira’at(قراءات) adalah bentuk jamak dari qira>’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaanPengertian Qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua pengertian Qira’atmenurut istilah. Qira’atmenurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.

 
Dari pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan Qira’atsaja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan Qira’atitu dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan Qira’atitu.
Ada pengertian lain tentang Qira’atyang lebih luas daripada pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian Qira’atmenurut pendapat al-Zarqani.
Al-Zarqani memberikan pengertian Qira’atsebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah Qira’atriwayatdan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara Qira’atdengan riwayatdan tariqah, sebagai berikut :
a. Qira’ata dalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti Qira’atNafi’, Qira’atIbn Kasir, Qira’atYa’qub dan lain sebagainya.
b. Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayatQalun ‘anNafi’ atau riwayatWarsy ‘an Nafi’.
c. Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil Qira’atdari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan Qira’atNafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Qira’at
Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan ilmu Qira’atini dimulai dengan adanya perbedaan pendapat tentang waktu mulai diturunkannya qira>’at. Ada dua pendapat tentang hal ini; Pertama, Qira’atmulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya Qira’atsebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa Qira’atitu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.
Kedua, Qira’atmulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebut--terletak di dekat kota Madinah.
Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu Qira’atyang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai Qira’atyang ada.
Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan Qira’atal-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika menerima Qira’atdari Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut. Qira’atorang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka mengambil Qira’atdari sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda dalam mengambil Qira’atdari Rasulullah SAW.
Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli Qira’atantara lain adalah : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa Qira’atmasing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil Qira’atdari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil Qira’atdari para Tabi’in.
Ahli-ahli Qira’atdi kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli Qira’atyang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi.
Sementara Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d.
Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam Qira’at– Qira’attertentu dan mengajarkan Qira’atmereka masing-masing.
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu Qira’at adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’atyang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H. Dengan demikian mulai saat itu Qira’atmenjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun Qira’atSab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam Qira’atyanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya.
Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan Qira’atsab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah : al-Taysir fi> al-Qira’atal-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi> Qira’atal-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi> Qira’atal-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi> al-Qira’atal-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna. Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang Qira’atyang membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.
C. Pembagian Qira’at dan Macam-macamnya
Ibn al-Jazari, sebagaimana dinukil oleh al-Suyuti, menyatakan bahwa Qira’at dari segi sanad dapat dibagi menjadi 6 (enam) macam, yaitu :
a) Qira’at Mutawatir
Qira’at Mutawatir adalah Qira’atyang diriwayatkan oleh orang banyak dari banyak orang yang tidak mungkin terjadi kesepakatan diantara mereka untuk berbuat kebohongan.
Contoh untuk Qira’atmutawatir ini ialah Qira’atyang telah disepakati jalan perawiannya dari imam Qiraat Sab’ah
b) Q ira’at Masyhur
Qira’atMasyhur adalah Qira’atyang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. diriwayatkan oleh beberapa orang yang adil dan kuat hafalannya, serta Qira’at-nya sesuai dengan salah satu rasam Usmani; baik Qira’atitu dari para imam Qira’at sab’ah, atau imam Qiraat’asyarah ataupun imam-imam lain yang dapat diterima Qira’at-nya dan dikenal di kalangan ahli Qira’atbahwa Qira’atitu tidak salah dan tidak syadz, hanya saja derajatnya tidak sampai kepada derajat Mutawa>tir
Misalnya ialah Qira’atyang diperselisihkan perawiannya dari imam Qira’atSab’ah, dimana sebagian ulama mengatakan bahwa Qira’atitu dirawikan dari salah satu imam Qira’atSab’ah dan sebagian lagi mengatakan bukan dari mereka.
Dua macam Qira’atdi atas, Qira’atMutawatir dan Qira’atMasyhur, dipakai untuk membaca al-Qur’an, baik dalam shalat maupun diluar shalat, dan wajib meyakini ke-Qur’an-annya serta tidak boleh mengingkarinya sedikitpun.
c) Q ira’at Ahad
Qira’at Ahad adalah qiraat yang sanadnya bersih dari cacat tetapi menyalahi rasam Utsamani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Juga tidak terkenal di kalangan imam qiraat.
Qira’at Ahad ini tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an dan tidak wajib meyakininya sebagai al-Qur’an.
d) Qira’at Syazah
Qira’at Syazah adalah Qira’atyang cacat sanadnya dan tidak bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Hukum Qiraat Syazah ini tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar sholat.
Qira’atSyazah dibagi lagi dalam 5 (lima) macam, sebagai berikut :
1. Ahad, yaitu Qira’atyang sanadnya sahih tetapi tidak sampai mutawatir dan menyalahi rasam Usmani atau kaidah bahasa Arab.
2. Syaz, yaitu Qira’atyang tidak mempunyai salah satu dari rukun yang tiga.
3. Mudraj, yaitu Qira’atyang ditambah dengan kalimat lain yang merupakan tafsirnya.
4. Maudu’, yaitu Qira’at yang dinisbahkan kepada orang yang mengatakannya (mengajarkannya) tanpa mempunyai asal usul riwayat qiraat sama sekali.
5. Masyhur, yaitu Qira’atyang sanadnya shahih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir serta sesuai dengan kaeidah tata bahasa Arab dan Rasam Usmani.
e) Qira’at Maudu’
Qira’at Maudu’ adalah Qira’atyang dibuat-buat dan disandarkan kepada seseorang tanpa mempunyai dasar periwayatan sama sekali.
f) Qira’at Syabih bil Mudraj
Qiraat Sabih bil Mudraj adalah Qira’atyang menyerupai kelompok Mudraj dalam hadis, yakni Qira’atyang telah memperoleh sisipan atau tambahan kalimat yang merupakan tafsir dari ayat tersebut.
D. Beberapa bembagian qiro’at menurt tingkatan
Berikut ini adalah pembagian tingkatan qiraat para imam qiraat berdasarkan kemutawatiran qiraat tersebut, para ulama telah membaginya ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu :
1. Qira’atyanng telah disepakati kemutawatirannya tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ahli Qira’atyaitu para imam Qira’atyang tujuh orang (Qira’atSab’ah)
2. Qira’at yang diperselisihkan oleh para ahli Qira’at tentang kemutawatirannya, namun menurut pendapat yang shahih dan masyhur qiraat tersebut mutawatir, yaitu Qira’atpara imam Qira’atyang tiga; imam Abu Ja’far, Imam Ya’kub dan Imam Khalaf.
3. Qira’at yang disepakati ketidak mutawatirannya (Qira’atsyaz) yaitu Qira’atselain dari Qira’atpara imam yang sepuluh (Qira’at‘Asyarah).
E. Mengenal Imam-Imam Qira’at
Berikut ini adalah para imam Qira’atyang terkenal dalam sebutan Qira’atSab’ah dan Qiraat ‘Asyarah , serta Qira’atArba’ ‘Asyara :
1. Nafi’al-Madani
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi, maula Ja’unah bin Syu’ub al-Laitsi. Berasal dari Isfahan. Wafat di Madinah pada tahun 177 H.
Ia mempelajari Qira’atdari Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’, Abdurrahman bin Hurmuz, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi; mereka semua menerima qiraat yang mereka ajarkan dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah.
Murid-murid Imam Nafi’ banyak sekali, antara lain : Imam Malik bin Anas, al-Lais bin Sa’ad, Abu ‘Amar ibn al-‘Alla’, ‘Isa bin Wardan dan Sulaiman bin Jamaz.
Perawi Qira’atImam Nafi’ yang terkenal ada dua orang, yaitu Qaaluun (w. 220 H) dan Warasy (w.197 H).
2. Ibn Kasir al-Makki
Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Kasir bin Umar bin Abdullah bin Zada bin Fairuz bin Hurmuz al-Makki. Lahir di Makkah tahun 45 H. dan wafat juga di Makkah tahun 120 H.
Beliau mempelajari Qira’atdari Abu as-Sa’ib, Abdullah bin Sa’ib al-Makhzumi, Mujahid bin Jabr al-Makki dan Diryas (maula Ibn ‘Abbas). Mereka semua masing-masing menerima dari Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Umar bin Khattab; ketiga Sahabat ini menerimanya langsung dari Rasulullah SAW.
Murid-murid Imam Ibn KAsir banyak sekali, namun perawi qiraatnya yang terkenal ada dua orang, yaitu Bazzi (w. 250 H) dan Qunbul (w. 251 H).
3. Abu’Amr al-Basri
Nama lengkapnya Zabban bin ‘Alla’ bin ‘Ammar bin ‘Aryan al-Mazani at-Tamimi al-Bashr. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya. Beliau adalah imam Bashrah sekaligus ahli qiraat Bashrah. Beliau lahir di Mekkah tahun 70 H, besar di Bashrah, kemudian bersama ayahnya berangkat ke Makkah dan Madinah. Wafat di Kufah pada tahun 154 H.
Beliau belajar Qira’atdari Abu Ja’far, Syaibah bin Nasah, Nafi’ bin Abu Nu’aim, Abdullah ibn Kasir, ‘Ashim bin Abu al-Nujud dan Abu al-‘aliyah. Abu al-‘Aliyah menerimanya dari Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Abbas. Keempat Sahabat ini menerima Qira’atlangsung dari Rasulullah SAW.
Murid beliau banyak sekali, yang terkenal adalah Yahya bin Mubarak bin Mughirah al-Yazidi (w. 202 H.) Dari Yahya inilah kedua perawi qiraat Abu ‘Amr menerima qiraatnya, yaitu al-Duuri (w. 246 H) dan al-Suusii (w. 261 H).
4. Abdullah bin ‘Amir al-Syami
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin ‘Amir bin Yazid bin Tamim bin Rabi’ah al-Yahshabi. Nama panggilannya adalah Abu ‘Amr, ia termasuk golongan Tabi’in. Beliau adalah imam qiraat negeri Syam, lahir pada tahun 8 H, wafat pada tahun 118 H di Damsyik.
Ibn ‘Amir menerima Qira’atdari Mugirah bin Abu Syihab, Abdullah bin Umar bin Mugirah al-Makhzumi dan Abu Darda’ dari Utsaman bin Affan dari Rasulullah SAW.
Di antara para muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang terkenal adalah Hisyam (w. 145 H) dan Ibn Zakwaan (w. 242 H).
5. ‘Ashim al-Kufi
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim bin Abu al-Nujud. Ada yang mengatakan bahwa nama ayahnya adalah Abdullah, sedang Abu al-Nujud adalah nama panggilannya. Nama panggilan ‘Ashim sendiri adalah Abu Bakar, ia masih tergolong Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 127 H.
Beliau menerima Qira’atdari Abu Abdurrahman bin Abdullah al-Salami, Wazar bin Hubaisy al-Asadi dan Abu Umar Saad bin Ilyas al-Syaibani. Mereka bertiga menerimanya dari Abdullah bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud menerimanya dari Rasulullah SAW.
Di antara para muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang terkenal adalah Syu’bah (w.193 H) dan Hafs (w. 180H).
6. Hamzah al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin ‘Ammarah bin Ismail al-Kufi. Beliau adalah imam qiraat di Kufah setelah Imam ‘Ashim. Lahir pada tahun 80 H., wafat pada tahun 156 H di Halwan, suatu kota di Iraq.
Beliau belajar dan mengambil qiraat dari Abu Hamzah Hamran bin A’yun, Abu Ishaq ‘Amr bin Abdullah al-Sabi’I, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Ya’la, Abu Muhammad Talhah bin Mashraf al-Yamani dan Abu Abdullah Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainul ‘Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib serta Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah SAW.
Di antara para muridnya yang menjadi perawi Qira’at-nya yang terkenal adalah Khalaf (w. 150 H) dan Khallad (w. 229 H).
7. Al-Kisa’i al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Usman al-Nahwi. Nama panggilannya Abul Hasan dan ia bergelar Kisa’i karena ia mulai melakukan ihram di Kisaa’i. Beliau wafat pada tahun 189 H.
Beliau mengambil Qira’atdari banyak ulama. Diantaranya adalah Hamzah bin Habib al-Zayyat, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laia, ‘Ashim bin Abun Nujud, Abu Bakar bin’Ilyasy dan Ismail bin Ja’far yang menerimanya dari Syaibah bin Nashah (guru Imam Nafi’ al-Madani), mereka semua mempunyai sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.
Murid-murid Imam Kisaa’i yang dikenal sebagai perawi yang dikenal sebagai perawi qira>’at-nya adalah al-Lais (w. 240 H) dan Hafsh al-Duuri (w. 246 H).
Untuk melengkapi jumlah Qira’atmenjadi Qira’at‘Asyarah, maka ditambahkan imam-imam Qira’atberikut ini :
8. Abu Ja’far al-Madani
Nama lengkapnya adalah Yazid bin Qa’qa’ al-Makhzumi al-Madani. Nama panggilannya Abu Ja’far. Beliau salah seorang Imam Qiraat ‘Asyarah dan termasuk golongan Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 130 H.
Beliau mengambil qiraat dari maulanya, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah, mereka bertiga menerimanya dari Ubay bin Ka’ab. Abu Hurairah dan Ibn Mas’ud mengambil qiraat dari Zaid bin Tsabit, dan mereka semua menerimanya dari Rasulullah SAW.
Murid Imam Abu Ja’far yang terkenal menjadi perawi qiraatnya adalah Isa bin Wardaan (w. 160 H) dan Ibn Jammaz (w. 170 H).
9. Ya’qub al-Bashri
Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ishaq bin Zaid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrami al-Mishri. Nama panggilannya Muhammad. Beliau seorang imam qiraat yang besar, banyak ilmu,shalih dan terpercaya. Beliau merupakan sesepuh utama para ahli qiraat sesudah Abu ‘Amr bin al-‘Alla’. Beliau wafat pada bulan Zul Hijjah tahun 205 H.
Beliau mengambil qiraat dari Abdul Mundir Salam bin Sulaiman al-Muzanni, Syihab bin Syarnafah, Abu Yahya Mahd bin Maimun dan Abul Asyhab Ja’far bin Hibban al-‘Autar. Semua gurunya ini mempunyai sanad yang bersambung kepada Abu Musa al-Asy’ari dari Rasulullah SAW.
Murid sekaligus perawi dari qiraat Imam Ya’qub yang terkenal adalah Ruwas (w. 238 H) dan Ruh (w. 235 H).
Dan masih banyak lg yang lainnya yang tidak mungkin kami sebutkan.
F. Syarat-Syarat Sahnya Qiraat
Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qiraat. yaitu :
1) Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2) Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3) Shahih sanadnya.
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak menyalahi salah satu segi dari segi-segi qawa’id bahasa Arab, baik bahasa Arab yang paling fasih ataupun sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak mempengaruhi maknanya. Yang lebih dijadikan pegangan adalah qiraat yang telah tersebar secara luas dan diterima para imam dengan sanad yang shahih.
Sementara yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu tulisan pada mushaf Usmani” adalah sesuainya qiraat itu dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis oleh panitia yang dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota besar Islam pada masa itu.
Mengenai maksud dari “shahih sanadnya” ini ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggap cukup dengan shahih saja, sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                      Biografi KHM. Hasyim Asy'ari

Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren Gedang.

Dilihat dari garis keturunan itu, beliau termasuk putera seorang pemimpin agama yang berkedudukan baik dan mulia. KHM. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI (Lembupeteng). Garis keturunan ini bila ditelusuri lewat ibundanya sebagai berikut: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambu bin Pangeran Nawa bin Joko Tingkir alias Mas Karebet bin Prabu Brawijaya VI.

Semenjak masih anak-anak, Muhammad Hasyim dikenal cerdas dan rajin belajar. Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.

Kemauan yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan diri Muhammad Hasyim sebagai musyafir pencari ilmu. Selama bertahun-tahun berkelana dari pondok satu ke pondok yang lain, bahkan beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun dan berguru kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu, seperti: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz At Tarmisi. Muhammad Hasyim adalah murid kesayangan Syekh Mahfudz, sehingga beliau juga dikenal sebagai ahli hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih Bukhari.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926, KHM. Hasyim Asy’ari bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah serta para ulama yang lain mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.

KHM. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir seluruh kiai di Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha Guru” kepadanya, karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan tegas mempertahankan ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang sebagai masalah yang prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran dan Hadits. Sebab tanpa mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya Imam Empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan pemutar balikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri. Penegasan ini disampaikan beliau dihadapan para ulama peserta Muktamar NU III, September 1932 dan penegasan itu kemudian dikenal sebagai “Muqaddimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama”.

Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat, maka KHM. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, Jombang pada tahun 1899 M. Dengan segala kemampuannya, Tebuireng kemudian berkembang menjadi “pabrik” pencetak kiai. Sehingga pemerintah Jepang perlu mendata jumlah kiai di Jawa yang “dibikin” di Tebuireng. Pada tahun 1942 Sambu Bappang (Gestapo Jepang) berhasil menyusun data tentang jumlah kiai di Jawa mencapai dua puluh lima ribu kiai. Kesemuanya itu merupakan alumnus Tebuireng.

Dari sini dapat dilihat betapa besar pengaruh Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal abad XX. Ribuan kiai di Jawa hampir seluruhnya hasil didikan Tebuireng. Karena itu tidaklah heran bila kemudian juga tumbuh ribuan pesantren dipimpin para kiai yang gigih mempertahankan madzhab, yang akhirnya berada dalam satu barisan “Nahdlatul Ulama”, semua itu dapat dipahami sebagai hasil pengabdian Hadratus Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari dalam perjalanan yang cukup panjang.

Pengabdian Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan juga pada bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah, tidaklah bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan mana yang pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau terhadap bangsa dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu saling memadu dalam diri Kiai Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai di seluruh Jawa, di lain pihak belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional seperti Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah.

Karena sikap dan sifat kepahlawanan serta keulamaannya, maka tidak henti-hentinya pemerintah kolonial berusaha membujuknya. Pada tahun 1937 misalnya, pernah datang kepada beliau seorang amtenar utusan Hindia Belanda bermaksud memberikan tanda jasa berupa “bintang” terbuat dari perak dan emas. Tetapi Kiai Hasyim menolak, dan kemudian beliau bergegas mengumpulkan para santrinya dan berkata :

“Sepanjang keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat; pada suatu ketika dipanggillah Nabi Muhammad SAW oleh pamannya, Abu Thalib, dan diberitahu bahwasannya pemerintah jahiliyah di Makkah telah mengambil keputusan menawarkan tiga hal untuk Nabi Muhammad SAW: kedudukan yang tinggi, harta benda yang berlimpah dan gadis yang cantik. Akan tetapi, Baginda Muhammad SAW menolak ketiga-tiganya itu, dan berkata di hadapan pamannya, Abu Thalib: ‘Demi Allah, umpama mereka itu kuasa meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud agar aku berhenti berjuang, aku tidak akan mau. Dan aku akan berjuang terus sampai cahaya Islam merata di mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban’. Maka kamu sekalian anakku, hendaknya dapat mencontoh Baginda Muhammad SAW dalam menghadapi segala persoalan….”.

Sikap seperti itu terulang pada saat Jepang berkuasa. Kedatangan Jepang disertai kebudayaan ‘Saikerei’ yaitu mnghormati Kaisar Jepang “Tenno Heika” dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo, yang harus dilakukan oleh seluruh penduduk dengan cara berbaris setiap pagi sekitar jam 07.00 WIB tanpa kecuali baik itu anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. KHM. Asy’ari menentangnya.

Melakukan ‘saikerei’ menurut pandangan para ulama adalah ‘haram’ dan dosa besar. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai ‘ruku’ dalam sholat, yang hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT. Selain Allah, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit, haramlah diberi hormat dalam bentuk ‘sakerei’ yang menyerupai ruku itu.

Akibat penolakkanya itu, pada akhir April 1942, KHM. Hasyim Asy’ari ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke Mojokerto, dan akhirnya ditawan bersama-sama serdadu Sekutu di dalam penjara Bubutan, Surabaya.

Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa habis-habisan hingga jari-jemari kedua tangannya remuk dan tak lagi bisa digerakkan. Namun berkat pertolongan Allah, kekejaman dan kebiadaban tentara Jepang itupun luluh karena serbuan damai ribuan santri dan unjuk rasa para kiai alumni Tebuireng. Beberapa kiai dan santri meminta dipenjarakan bersama-sama Kiai Hasyim sebagai tanda setia kawan dan pengabdian kepada guru dan pemimpin mereka yang saat itu telah berusia 70 tahun. Peristiwa itu cukup membakar dunia pesantren dalam memulai gerakan bawah tanah menentang dan menghancurkan Jepang. Pihak pemerintah Jepang agaknya mulai takut, hingga kemudian pada 6 Sya’ban 1361 H bertepatan dengan tanggal 18 Agustus 1942, Kiai Hasyim dibebaskan.

Pada bulan Oktober 1943, ketika NU dan Muhammadiyah bersepakat membentuk organisasi gabungan menggantikan MIAI (Al Majlisul Islamil A’la Indonesia) dan diberi nama MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) yang non politik, pimpinan tertingginya dipercayakan kepada KHM. Hasyim Asy’ari. Dan pada tahun 1944 beliau diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi Ketua SHUMUBU (Kantor Pusat Urusan Agama).

Pada masa-masa akhir pemerintahan Jepang di Indonesia, Masyumi berhasil membujuk Jepang untuk melatih pemuda-pemuda Islam khususnya para santri dengan latihan kemiliteran yang kemudian diberi nama Hizbullah. Tanda anggota Hizbullah ditandatangani oleh KHM. Hasyim Asy’ari.

Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947, KHM. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmayullah. Atas jasa beliau, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional”.

0 komentar:

Posting Komentar

PALING DISUKAI